Selamat Datang di Komunitas Historia Indonesia!

Candrian Attahiyyat: Guru yang Menyalakan Api Sejarah Jakarta

Candrian Attahiyyat: Guru yang Menyalakan Api Sejarah Jakarta

Saya menulis ini dengan tangan bergetar dan masih belum percaya. Siang tadi, 14 September 2025, kabar duka itu datang: Candrian Attahiyyat, arkeolog senior, guru dan sahabat saya, berpulang pada usia 68 tahun. Saya seperti kehilangan penunjuk arah di tengah labirin sejarah Jakarta—suara yang selama lebih dari dua dekade menuntun saya dalam membaca jejak-jejak masa lalu di antara reruntuhan, bangunan tua, benteng dan dan jejak kaki yang tersisa.

Saya pertama kali bertemu beliau sekitar tahun 2001, ketika saya merintis gerakan pelestarian dan wisata sejarah di Kota Tua Jakarta. Beliaulah yang membuka mata saya pada arkeologi sebagai cara pandang—bukan hanya sekadar penggalian benda/artefak, melainkan penggalian makna. Beliau juga mengajarkan saya bahwa tanah menyimpan memori, air mengalirkan cerita, dan setiap pecahan keramik adalah suku kata rahasia dari sebuah narasi sejarah tentang kita. 

Pak Can, begitu saya memanggil beliau, tak hanya mengajarkan saya teori; tapi memberi banyak kesempatan. Di lapangan, di sela-sela debu dan panas, beliau menaruh kepercayaan, membiarkan saya belajar “dengan tangan”: meraba struktur, menimbang konteks, menghormati bukti sejarah.

Pak Can adalah arkeolog senior yang hidup sepenuh hati untuk pelestarian. Ia pernah memimpin UPT Kota Tua Jakarta dan Balai Konservasi DKI Jakarta sebelum purna tugas, kemudian mengabdi sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta (TACB) dan terus menjadi rujukan publik tiap kali Jakarta menemukan serpihan masa lalunya. 

Di jembatan Kota Intan, atas nama revitalisasi, suara Pak Can pernah menghentikan mesin beko sejenak agar sejarah diperlakukan dengan hormat:

“Ini temuan penting, biarkan sejarah bicara lebih dulu,”

kira-kira begitu nasihatnya yang selalu saya dengar.  

Yang membuatnya khas adalah cara beliau memasyarakatkan sejarah dan semangat pelestarian. Di kanal Youtube “PakTjan” yang ramai, ia mengajak publik berjalan pelan: menunjuk fondasi pintu air, menafsirkan prasasti, menelisik vihara tua atau masjid tua, menyambungkan detail arkeologi dengan denyut kota hari ini. Ilmu yang biasanya terkunci di ruang seminar, olehnya dibukakan jendela: siapa pun boleh mengintip, bertanya, dan jatuh cinta. Ia membuat arkeologi bukan hanya mungkin, tapi akrab dan dekat di hati kita.  

Dan bagi saya, seorang murid yang juga ingin mengajak lebih banyak orang mencintai Indonesia lewat sejarah, kepergiannya menyisakan ruang hening yang sulit diisi. Pak Can sangat telaten membangun jembatan antara ilmu dan publik, antara situs dan warga, antara temuan dan kebijakan. Beliau tidak sibuk mencari sorot lampu; beliau memilih menyalakan lampu di kegelapan.  

Pak Can mengajarkan saya tiga hal (yang akan saya jaga selamanya). Pertama, jadilah penyabar: sejarah & arkeologi tidak boleh tergesa-gesa. Kedua, keberpihakan pada pelestarian adalah keputusan moral—berdiri lah di pihak yang lemah, rapuh, dan mudah dihapus; berdiri untuk yang tak punya suara. Ketiga, periang dan suka bercanda: beliau selalu tersenyum, tertawa lepas, kerap menyelipkan cerita komedi dan kuliner dalam berbagai kesempatan, seolah menegaskan bahwa mencintai sejarah adalah juga mencintai hidup yang sederhana.  

Tahun 2005, saya pernah berbincang dengan beliau.

"Bila kota ini (Jakarta) pernah dibangun di atas cerucuk-cerucuk kayu yang menyangga tanah yang labil, maka pelajaran dari Pak Can adalah: ilmu, etika, dan kecintaan pada kota Jakarta adalah cerucuk yang akan menjaga kita semua dari amblasnya pembangunan."

Selamat jalan, Pak Can. Terima kasih untuk setiap langkah indah di Kota Tua Jakarta, setiap pagi yang kita mulai dengan diskusi, setiap senja yang kita akhiri dengan rencana dan tawa. Beristirahatlah di kedalaman surga yang damai. Kami akan tetap berjaga di permukaan: merawat sejarah, menyusun rencana, dan menyambung cerita. Pak Can adalah teladan kami dalam mencintai sejarah kota, dan kami akan lanjutkan perjuangan Pak Can untuk kemajuan kota Jakarta tercinta.

Pertemuan terakhir saya dengan Pak Can, 14 Juni 2025.
Orbituari oleh Asep Kambali
Sejarawan/Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI)