Selamat Datang di Komunitas Historia Indonesia!

KHI, Mengubah Keangkeran menjadi Kegemaran

KHI, Mengubah Keangkeran menjadi Kegemaran
“Selalu ada yang mengerikan dalam hubungan kita dengan sejarah. Tapi pada saat yang sama, selalu ada yang membuat masa lalu berharga justru dalam kerapuhan manusia.”

Begitulah ungkapkan Goenawan Mohammad di dalam karyanya yang berjudul “Catatan Pinggir 5”. Kata-kata ini begitu menarik perhatian saya karena saya pun merasa ngeri ketika mendengar kisah yang terjadi beberapa tahun silam di Pulau Kelor, Pulau Cipir dan Pulau Onrust.

Ini sungguh perjalanan yang sangat menarik bagi saya yang baru menyadari keberadaan ketiga pulau bersajarah ini di gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta. Awalnya, ketertarikan saya bukanlah pada acara jelajahnya, namun lebih tertarik kepada penyelenggaranya, yakni Komunitas Historia Indonesia. Sebuah komunitas yang berhasil mengubah ‘keangkeran’ sejarah menjadi kegemaran. Setelah mengenal komunitas ini saya menjadi haus akan sejarah. Walau banyak hal yang menyakitkan bahkan keraguan dalam sejarah, namun pelajaran yang dapat dipetik sungguh tak ternilai harganya.

Dengan perahu kayu tradisional kami meluncur dari tempat berkumpul di Muara Kamal, Jakarta Barat, ke Pulau Kelor. Perjalanan selama 20 menit menuju pulau tersebut cukup berkesan karena adanya cerita-cerita sejarah yang disampaikan oleh dua orang guide yang memimpin rombongan kelompok saya. Tak jarang mereka memberikan para peserta beberapa pertanyaan mengenai sejarah bangsa. Dan pada saat itulah pertama kali saya mengetahui beragam versi Lagu Indonesia Raya. Wow!!!

Di Pulau Kelor saya sungguh takjub dengan tumpukan batu bata merah yang membentuk bangunan melingkar. Benteng Martello peninggalan Belanda ini merupakan tempat pengintai kedatangan musuh. Konon benteng yang masih terlihat saat ini merupakan bagian benteng yang aslinya lebih luas. Sebagian besar benteng runtuh dan rusak karena letusan Gunung Krakatau (1883), gempa Jakarta (1966), ditambah abrasi yang kerap kali terjadi. Lebih miris lagi ketika saya melihat paku di dinding benteng yang sangaja ditancapkan para pemancing untuk menggantungkan pakaian. Lagi-lagi KHI menyadarkan saya bahwa hal sepele yang kita pikirkan dan perbuat bisa saja merusak cagar budaya. Perjalanan kali ini menambah kepekaan saya terhadap keadaan benda dan bangunan cagar budaya.

Setelah asyik berfoto ria dan puas mendengarkan sekilas peristiwa yang terjadi di Pulau Kelor, kami pun bertolak meluncur ke Pulau Cipir dan Pulau Onrust. Letak kedua pulau ini sangat berdekatan dan memiliki kemiripan cerita sejarah. Kedua pulau ini pernah dijadikan asrama haji dan karantina penyakit menular. Konon gelar haji merupakan pemberian Belanda bagi para pribumi yang baru datang dari tanah suci. Hal tersebut dilakukan karena banyak pribumi yang menjadi pemberontak setelah menunaikan ibadah haji dan belajar Islam di tanah suci. Penambahan gelar haji akan memudahkan Belanda dalam memperhatikan gerakan para pribumi tersebut. Yup, bahkan gelar haji ada sejarahnya. Wow!

Di kedua pulau ini saya membayangkan kegetiran manusia kala itu. Keadaan di mana sulit sekali mencari kedamaian. Di mana kekayaan bangsa ini sungguh menjadi idaman bagi negara lain, tapi justru menjadi petaka bagi bangsa sendiri. Ketiga pulau ini merupakan saksi sejarah banyaknya peperangan yang terjadi, kejinya manusia kala itu yang tega menyiksa manusia yang lainnya, dan menakutkannya penyakit-penyakit yang saat ini mungkin sudah bukan menjadi penyakit yang mematikan. Sangat disayangkan bila banyak masyarakat yang lupa akan sejarah bangsanya sendiri. Seperti pepatah yang mengatakan “Tak kenal maka tak sayang”, cinta datang berawal dari perkenalan. Dan terimakasih Komunitas Historia Indonesia yang telah memperkenalkan sejarah bangsa ini pada saya.***

 ____

Elsa Faturahmah, Historiawarrior

Artikel dibuat tahun 2010, pertama di post 2025.