Pengusaha Sejarah: Menggali Nilai, Menjual Masa Lalu, Membangun Ekonomi dan Nasionalisme Bangsa

Di mata masyarakat Indonesia, istilah “pengusaha sejarah” masih terdengar asing. Sebagian besar mungkin bertanya: bukankah sejarah itu masa lalu yang tidak berguna dan hanya milik kalangan akademik? Kenapa jadi komersialisasi dan dibawa ke ranah “usaha”? Bagi saya, pertanyaan itu wajar, dan sangat challenging. Sebab selama dua dekade terakhir, saya menyaksikan dan menjalaninya sendiri, bagaimana ilmu dan pengetahuan sejarah yang saya miliki dan kembangkan dapat diubah menjadi nilai tambah yang riil: dengan sentuhan dan semangat idealisme untuk mencerdaskan publik, memperkuat identitas serta nasionalisme, saya bersama Komunitas Historia Indonesia (KHI) sejak 2003 telah berhasil menggerakkan ekonomi kreatif melalui pendekatan “history-entrepreneurship” untuk bidang kesejarahan. Itulah kenapa saya menyebut diri sebagai “pengusaha sejarah” —dan mengapa saya yakin profesi ini bukan sekadar mungkin, melainkan sangat penting bagi kemajuan Indonesia hari ini dan masa depan.
Secara sederhana, saya dapat mendefiniskan bahwa pengusaha sejarah adalah mereka yang mengolah sumber daya sejarah (arsip, situs, koleksi, memori kolektif, dan kisah-kisah—menjadi produk dan layanan (jasa) siap jual yang relevan, kredibel, dan berkelanjutan. Relevan, karena menjawab kebutuhan masyarakat akan makna dan orientasi (kebutuhan orisinalitas) di tengah arus informasi. Kredibel, karena berdisiplin pada metodologi dan etika penelitian sejarah. Berkelanjutan, karena didukung model usaha yang sehat, sehingga program edukasi, pelestarian dan pembangunan beriringan-bertahan di tengah perubahan zaman. Dengan kerangka itu, “usaha” bukan antitesis sejarah; tapi justru infrastruktur sekaligus ekosistem keberlanjutan bagi kerja-kerja edukasi yang berdampak.
Saya memulai ikhtiar ini pada 22 Maret 2003 ketika mendirikan Komunitas Historia Indonesia (KHI). Saat itu, gagasan kami sesederhana sekaligus seambisius ini: mengajak publik mencintai Indonesia lewat pengalaman sejarah yang hidup—walking tour, kelas terbuka, pameran, diskusi, hingga kolaborasi kreatif lintas sektor. Kami membuktikan bahwa sejarah bisa dipelajari di jalan, di museum, di ruang kota, bahkan di dunia digital—tanpa kehilangan nilai dan kedalaman serta bermakna. Dari tahun ke tahun, program bertambah, jejaring meluas, dan lahirlah model pembiayaan yang memungkinkan kami menjaga integritas ilmiah sekaligus menggaji tim, membayar produksi, dan memperluas dampak. Dalam kacamata kewirausahaan sejarah: nilai masa lalu dan nilai ekonomi bisa tumbuh beriringan bersama nilai publik yang saling menguatkan.
Saat ini, mengapa ini penting? Pertama, kita hidup di zaman “banjir bandang” informasi, tapi “kemarau” pemahaman berkepanjangan (miskin pengetahuan). Masa lalu kerap dipotong-potong, dijadikan kepingan yang saling terpisah, jadi jargon yang salah, atau sengaja dipelintir untuk kepentingan sesaat. Banyak kreator konten yang tidak memiliki latar belakang keilmuan sejarah, informasinya ditelan mentah-mentah dan kerap dianggap ahli oleh publik dalam setiap kontennya. Pengusaha sejarah hadir untuk menjembatani ilmu sejarah yang luas dan kompleks dengan bahasa publik yang ringan dan kekinian—menerjemahkan arsip dan riset sejarah menjadi pengalaman yang menarik, mudah dipahami, menumbuhkan kepedulian, dan menggerakkan.
Kedua, Indonesia memiliki modal warisan sejarah yang luar biasa: dari situs, bangunan, arsip dan naskah kuno, kota tua dan seaskap-lanskap budaya, hingga memori kolektif yang membentuk jati diri bangsa. Tanpa ekosistem yang kuat, modal ini mudah terkikis: situs rusak, bangunan tua dirobohkan, arsip terlantar, kisah tercerabut dari konteksnya, memori kolektif lenyap di kepala kita. Ketiga, pelestarian membutuhkan pembiayaan dan pengelolaan yang tahan banting. Di sinilah model usaha menjadi kunci agar program edukasi tidak sepenuhnya bergantung pada hibah atau proyek musiman.
Apa saja wujud “bisnis sejarah”? Banyak yang membayangkan sekadar tur atau wisata sejarah. Padahal spektrumnya sangat luas. Dimulai dari yang berbasis desain pengalaman (wisata, pameran, tur digital, storytelling, corporate gathering/outbound), konsultansi (penelitian arsip untuk perkara hukum atau korporasi, penominasian situs, kuratorial), produksi konten (buku populer, dokumenter, podcast, arsip dan konten digital), hingga manajemen memori korporasi (corporate memory) dan program CSR berbasis pendidikan sejarah lokal/nasional. Di balik layanannya, ada fondasi yang sama: riset yang kuat, memtode-etika yang jelas, dan pengelolaan yang profesional. Sebab reputasi adalah modal utama profesi ini.
Tentu, ada risiko. Sejarah bukan komoditas yang boleh dipermainkan. Integritas ilmiah harus menjadi pagar: sumber diverifikasi, narasi ditopang data, ruang bagi kontroversi ilmiah dijelaskan apa adanya. Partisipasi masyarakat juga sangat esensial: sejarah bukan milik satu suara; ia adalah mosaik. Dan jangan lupa transparansi: bedakan opini, interpretasi, dan fakta; jelas di mana kepentingan komersial hadir; pastikan tidak ada yang dirugikan—terutama masyarakat yang memiliki memori dan situs sejarah tertentu. Ketika etika dijaga, model usaha sejarah justru dapa tmemperluas ruang gerak pelestarian, bukan justru yang menggerusnya.
Setelah dua dekade bergerak, saya melihat lahirnya generasi baru, adik-adik seperjuangan di jurusan sejarah, yang menempuh jalur serupa. Mereka mencintai sejarah, arsip, museum, dan kota tua; para pendidik yang ingin mengajar dengan cara baru; kreator yang ingin membuat konten sejarah yang bertanggung jawab. Untuk menampung energi itu, saya mendirikan Pusat Kajian Kewirausahaan Sejarah atau Historypreneur pada 22 Maret 2010. Saya bersama KHI juga mendeklarasikan Asosiasi Kreator Konten Sejarah Indonesia (AKKSINDO) pada 22 Maret 2025. Di sini, kami merumuskan formula-kurikulum, membangun laboratorium praktik, dan menghubungkan jejaring—kampus, komunitas, museum, pemerintah daerah, korporasi. Tujuannya jelas: membuat jalur karier “pengusaha sejarah” menjadi nyata—dengan standar kompetensi, etika kerja publik, dan model pembiayaan yang masuk akal. Kami ingin orang belajar bukan hanya “apa itu sejarah”, tetapi bagaimana mengubahnya menjadi pengalaman sejarah yang bermakna, berkesan dan berdampak sosial sekaligus berkesinambungan secara ekonomi.
Apakah “bisnis sejarah” menjanjikan? Saya jawab: ya—sepanjang kita serius, fokus dan beroritenasi jelas. Serius pada riset, fokus pada publik, dan jelas dan transparan pada tata kelola. Pasarnya ada, dari keluarga yang ingin mengajak anaknya belajar sejarah dengan gembira; sekolah dan kampus yang mencari metode pengajaran kontekstual dan tidak biasa; pemerintah daerah yang ingin membangun identitas kotanya; museum yang bertransformasi menjadi ruang belajar aktif dan interaktif; hingga korporasi yang ingin membangun narasi dan jati diri yang jujur dan peduli. Indonesia sedang bergerak: pariwisata minat khusus tumbuh, ekonomi kreatif menguat, kota-kota mencari cerita. Tugas kita sangat jelas yaitu memastikan narasi yang tumbuh adalah cerita yang adil sesuai fakta dan baik untuk masa depan.
Pada akhirnya, pengusaha sejarah bukan hanya tentang “menjual masa lalu dan komersialisasi sejarah”, melainkan menghadirkan masa lalu secara bertanggung jawab agar masa kini lebih cerdas dan masa depan lebih kuat. Pengusaha sejarah bukan sekadar profesi, melainkan strategi kebudayaan: memelihara ingatan kolektif, menyalakan harapan dan memperkuat kebanggaan, dan menyalakan harapan. Jika bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, maka bangsa maju adalah bangsa yang menjadikan pengetahuan sejarah sebagai energi penggerak di sekolah, di jalanan, di ruang digital, di ruang rapat kebijakan, dan di pasar gagasan.
Dua puluh dua tahun lalu, saya bersama @komunitashistoria memulai perjalanan ini dengan satu langkah kecil: mengajak teman seperjuangan dan beberapa masyarakat menyusuri jejak sejarah yang ada di Kota Tua Jakarta. Hari ini, saya mengajak lebih banyak orang berjalan-bergandengan bersama —peneliti, pendidik, kreator, birokrat, pebisnis, masyarakat dan anda follower saya— untuk membangun ekosistem yang membuat ingatan sejarah bangsa Indonesia tidak hanya dikenang, tetapi dihidupkan. Jika Anda percaya pada itu, Historypreneur ada sebagai rumah belajar dan berbuat. Sebab memori tanpa gerak adalah nostalgia; sedangkan memori yang digerakkan dengan ilmu, etika, dan keberanian—itulah kewirausahaan sejarah. Dan Indonesia, saya yakin, pantas menjadi pemimpinnya.***
________________
Op-ed oleh Asep Kambali, Sejarawan, pengusaha sejarah pendiri KHI.