Historiografi Polifonik

Sebagai bangsa yang merdeka dari hasil perjuangan, sejarah menjadi memori kolektif penting yang harus senantiasa dirawat dan diteruskan mengingat Indonesia tumbuh dan berkembang melalui proses dinamika yang berliku dan panjang. Oleh karena itu, proyek penulisan ulang Sejarah oleh Kementerian Kebudayaan dianggap sebagai upaya positif dalam pembaruan sejarah pasca lima puluh tahun penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) tahun 1975 silam.
Terbebas dari Narasi Tunggal
Menurut kaidah historiografi, penyusunan atau penulisan ulang sejarah bukanlah pekerjaan yang mudah dan instan. Karenanya, harus melibatkan berbagai pihak, komprehensif dan tidak tergesa-gesa.
Narasi sejarah tidak bisa diubah begitu saja, melainkan harus dari hasil riset panjang dan menyeluruh, melalui penelusuran ulang sumber primer/sekunder, dan melakukan berbagai dialog ulang antar perspektif. Penulisan ulang sejarah bukan untuk menghasilkan narasi tunggal, tapi membangun memori kolektif yang beragam berdasarkan fakta dan data terbarukan.
Urgensi Penulisan Ulang Sejarah
Berdasarkan informasi dari Kompas.com, 1 Juli 2025, proyek penulisan ulang sejarah telah diklaim 80% rampung sejak bulan Januari tahun ini. Pertanyaan saya, sejauh mana keterlibatan aktif berbagai stakeholder kesejarahan, para sejarawan, arkeolog dan komunitas sejarah dalam mengawal prosesnya?
Pertanyaan lainnya, apakah penelitian ulang terhadap arsip atau sumber primer lainnya, wawancara ulang para saksi/pelaku sejarah, dan kajian lapangan dapat dilakukan secara menyeluruh hanya dalam beberapa bulan itu? Tanpa proses yang komprehensif itu, saya pikir, penulisan ulang sejarah akan rentan terjadi "simplifikasi" atau bahkan "manipulasi narasi." Mengingat, sejarah sangat kompleks, karena tidak hanya membahas soal tokoh dan peristiwa tertentu, tapi menyangkut spasial dan temporal masa lalu yang sangat luas.
Historiografi Polifonik
Metodologi sejarah, mengajarkan kita bahwa historiografi harus berpijak pada triangulasi sumber (verifikasi dari berbagai sumber warisan dokumenter seperti arsip, lisan, tulisan & visual), yang dilandasi pendekatan ilmiah, dan dilakukan secara kolektif oleh komunitas akademik dan non akademik (asosiasi/publik).
Proses tersebut haruslah terbuka terhadap kritik dan dialog, bukan dikendalikan oleh agenda politik tertentu. Sejarah yang obyektif harus bersifat "polifonik" (memuat banyak suara), termasuk suara minoritas atau kelompok yang selama ini terpinggirkan.
Puluhan tahun, narasi sejarah kita terkesan hanya berisi cerita orang-orang besar, padahal tanpa (dukungan dan pengorbanan) orang-orang kecil, mereka (orang-orang besar) itu bukan siapa-siapa. Suara orang-orang kecil itu, sangat penting dinarasikan dalam historiografi Indonesia masa kini. Gunanya, untuk menelusuri dan melengkapi sejauhmana peran dan proses keterlibatan masing-masing dalam peristiwa sejarah. Jika tidak polifonik, historiografi rawan tergelincir, menjadi instrumen legitimasi kekuasaan, dan bukan sebagai alat pencerdasan.
Sejarah Versi Negara
Bila penulisan ulang sejarah dilakukan secara tergesa-gesa, tertutup, dan tanpa pelibatan aktif komunitas sejarah dan sejarawan (melalui uji publik dan kritik dari berbagai pihak), maka simplifikasi dan manipulasi narasi untuk kepentingan politik tertentu tidak akan terhindarkan.
Kita semua, tentu ingin sejarah menjadi alat pendidikan, bukan propaganda. Oleh karenanya, upaya pemerintah dalam penulisan sejarah "versi negara" itu, harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga narasinya memiliki sudut pandang yang beragam/tidak tunggal.
Sejarah versi negara yang seperti itu berguna dalam merawat visi/misi berbangsa, menumbuhkan cara berpikir kritis, membangun kesadaran sejarah (historical consciousness) dan memperkuat ketahanan nasional. Namun, sekali lagi, historiografinya harus polifonik, bukan monolog.
Sejarah berisi "memori kolektif" yang penting untuk diteruskan/dirawat kepada setiap generasi. Sejarah adalah komponen "soft power" untuk menumbuhkan cinta tanah air. Maka, saya menyebutnya "sejarah sebagai alat pertahanan negara."
Namun, menurut paradigma publik saat ini, sejarah versi negara kerap dianggap negatif, karena berisi narasi versi tunggal, melupakan kompleksitas dan menghapus sisi-sisi gelap masa lalu tertentu demi membangun narasi ideal yang sesuai kepentingannya.
Tentu saja ini berbahaya, karena bangsa yang besar justru adalah bangsa yang berani mengakui luka-lukanya di masa lalu dan belajar memperbaikinya hari ini untuk kepentingan lebih baik di masa depan. Sekali lagi, penulisan ulang sejarah harus terbuka dan polifonik.
Historical Consciousness, Benteng Memori Kolektif
Jika generasi muda hanya disodori sejarah versi negara yang tunggal, mereka akan tumbuh tanpa kemampuan berpikir kritis dan kehilangan kepekaan terhadap keberagaman narasi masa lalu. Kritik saya bahwa sejarah versi negara itu harus polifonik, memungkinkan tumbuhnya generasi muda dengan kesadaran sejarah (historical consciousness) yang disertai kemampuan berpikir kritis yang baik.
Saya meyakini, sejarah bukan hanya berisi narasi untuk dipuja-puji, tapi untuk dipahami, dipelajari, dan dijadikan cermin untuk masa depan. Tanpa pendekatan akademik yang komprehensif, jujur dan terbuka (polifonik), sejarah dapat berubah menjadi dogma. Ini membahayakan, karena sejarah seharusnya menjadi benteng kesadaran, bukan tembok penjara ingatan.
Bangsa yang tercerabut dari akar sejarahnya akan kehilangan arah dan mudah dimanipulasi/dikendalikan oleh kekuatan yang ingin membentuk ulang identitas nasional sesuai kepentingannya. Untuk menghancurkan suatu bangsa, musnahkan ingatan sejarah generasi mudanya. Jangan sampai bangsa kita dihancurkan, karena meninggalkan sejarahnya!
____
Oleh: Asep Kambali
Sejarawan Keliling; Dewan Pakar Komite Memori Kolektif Bangsa (MKB) - Arsip Nasional RI; Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI); Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang.